Friday, May 29, 2015

Hubungan Kesehatan mental dengan Kecerdasan emosional

Kecerdasan Emosi (EI)
Di tahun 1990, dua Psikolog, Peter Salovey dan John Mayer mengeluarkan istilah kecerdasan emosi atau EI. Hal ini mengacu pada keempat keterampilan yang saling berhubungan: kemampuan untuk melihat, menggunakan, memahami dan mengelola atau mengatur emosi—milik kita sendiri atau orang lain—sehingga dapat mencapai tujuan. Kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk memanfaatkan emosi untuk menghadapi lingkungan sosial secara lebih efektif. Hal ini membutuhkan kesadaran mengenai tipe-tipe perilaku yang sesuai dalam suatu kondisi sosial.

untuk mengukur kecerdasan emosi, psikolog menggunakan tes kecerdasan emosi Mayer-Salovey-Caruso (MSCEIT) (Mayer, Salovy, & Caruso, 2002), tes berdurasi 40 menit untuk menjawab pertanyaan dari tes tersebut yang menghasilkan skor untuk setiap kemampuan tersebut, sebagai nilai total.

Kecerdasan emosi berdampak pada kualitas hubungan personal. Studi menemukan bahwa mahasiswa yang mendapat nilai tinggi pada MSCEIT melaporkan cenderung lebih memiliki hubungan yang posisitf dengan orang tua dan teman-temannya, sedangkan mahasiswa yang memiliki nilai yang rendah pada MSCEIT melaporkan terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan mengonsumsi alcohol berlebihan, dan tema-teman dekat mahasiswa yang memiliki nilai tinggi dalam MSCEIT menilai sebagai orang yang cenderung lebih memberikan dukungan emosional seetiap saat jika diperlukan. Pasangan mahasiswa yang keduanya memiliki nilai tinggi pada MSCEIT memiliki hubungan yang membahagiakan, saat pasangan yang nilainya rendah tidak berbahagia.

Kesehatan mental
Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya. Tuntutan kenyataan yang dimaksud di sini lebih banyak merujuk pada tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Orang dewasa paruh baya lebih mungkin mengalami distress psikologis serius: kesedihan yang berlebihan, rasa gugup, putus asa, dan rasa tak berharga sepanjang waktu dari pada orang dewasa yang lebih muda atau yang lebih tua. Individu dewasa dengan tekanan psikologis yang serius lebih mungkin dibandingkan sebayanya didiagnosis menderita penyakit jantung, diabetes, artritis atau stroke dan melaporkan perlu bantuan di kehidupan sehari-hari seperti  mandi dan berpakaian.

 Dalam studi nasional yang luas dari perempuan usia paruh baya, sekitar 1 dari 4 menunjukkan gejala depresi. Sebagaimana studi sebelumnya, prevalensi tertinggi terjadi diantara perempuan Afro Amerika dan Hispanik Amerika dan terendah terjadi diantara perempuan china amerka dan jepang amerika. Perbedaan SSE dan factor berisiko lainnya mungkin menjelaskan kesenjangan ras/etnis tersebut. perempuan yang kurang berpendidikan dan memiliki kesulitan memenuhi kebutuhan dasar lebih mungkin memiliki gejala depresi. begitu juga, mereka yang menyebut kesehatan mereka buruk atau cukup dan ada yang menyebut mereka berada dibawah tekanan atau kurang mendapatkan dukungan sosial dan factor-faktor tersebut jauh lebih penting dibandingkan tanda yang nyata dari SSE.

Kesehatan mental seseorang sangat berpengaruh dalam kecerdasan emosinya. Pepatah kuno Solomon, “ Hati yang riang adalh obat yang baik”, menjadi acuan bagi penelitian setiap saat. Emosi negative seperti kecemasan dan putus asa sering kali dihubungkan dengan kesehatan fisik dan mental yang buruk, dan emosi positif seperti harapan, dihubungkan dengan kesehatan yang baik dan kehidupan yang lebih lama. Karena otak berinteraksi dengan semua system biologis tubuh, perasaan dan kepercayaan berpengaruh terhadap fungsi tubuh, termasuk fungsi system imun. Suasana hati negative rupanya menahan fungsi system imun dan meningkatkan kerentanan pada penyakit, suasana hati yang posisitf tampaknya mempertinggi fungsi imun.

Referensi :
Feist, G. J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta: Salemba Humanika
Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Experience human development 12th ed.
Jakarta: Salemba Humanika.


No comments:

Post a Comment